Rabu, 15 Februari 2012

Cinderela Sehari

"Udah siap Q?" tanya Eza padaku. Aku mengangguk mantap dan segera naik ke sedel motornya.

"Hati-hati ya..." pintaku sambil merangkul tas pinggangnya. Ia menutup kaca helmnya dan segera menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.

Aku tersenyum senang duduk dibelakang Eza dan merangkul tas pinggang kesayangannya. Hari ini aku ada janji untuk mengisi acara di salah satu radio swasta di kotaku dan Eza dengan senang hati mau mengantarkan aku. Padahal biasanya ia suka sibuk dengan urusannya sendiri. Yap, aku mulai hari ini mengisi acara tentang dunia tulis karena beberapa waktu lalu buku tentang kumpulan cerpenku telah beredar di beberapa toko buku.

Setelah meliuk-liuk dengan gesitnya -mengingat sepanjang jalan selalu macet karena adanya pembangunan jalan- akhirnya sampai juga di radio tempat aku akan bersiaran. Dengan enggan aku turun dari motornya.

"Mau aku tungguin atau aku tinggal?" tanyanya. Aku semakin kaget dengan sikapnya hari ini. Kenapa hari ini dia baik banget sama aku?

"Enggak usah, nanti kamu boring lagi. Soalnya kan kamu cuman dengerin aku aja," jawabku singkat. Ia hanya tersenyum dan memakirkan motornya. Kami berjalan beriringan menuju tempat siaran.

"Ini yang namanya Q,?" tanya salah satu pegawai radio itu. Ake memperhatikan postur tubuhnya dan model bajunya sepertinya ini si pengarah acara yang dibilang oleh mbak Laila.

"Iya Mas, saya Q. Mas ini mas Eka bukan?" tanyaku meyakinkan.

"Yap, betul sekali. Jadi gini mbak Q, kami ada program tentang dunia sastra dan tulis menulis. Nah, menurut sumber yang bisa kami percaya mbak Q ini suka banget sama dunia sastra dan tulis menulis. Nah mbak Q siap kan untuk membagi kepada kami melalui siaran?" ungkap Eka panjang lebar. Aku mengangguk.

Setelah penjelasan dan arahan singkat dari mas Eka, akhirnya aku mulai siaran juga. Sementara Eza dengan manis duduk di kursi tamu sambil sesekali senyum kearahku. Karena ruang siaran bersebelahan dengan ruang tamu maka aku bisa melihatnya dengan jelas.

***

"Za, makan yok. Laperrr!"

"Mau makan apa?"

"Terserah deh, pokoknya makan. Laper banget tauu..."

"Yaudah, makan mie aja mau?"

"Oke...!"

Aku masih tersenyum-senyum sendiri. Hari ini entah kenapa perasaanku bahagia banget. Mungkin karena ada Eza di sampingku. Aku merasakan Eza hari ini aneh banget. Entah apa yang teradi dengannya sehingga ia berubah menjadi lebih hangat seperti ini.

"Q, nih cokelat buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan sebatang cokelat hazelnut. Aku menerimanya dengan kaget. Cokelat hazelnut adalah cokelat kesukaanku. Darimana dia tau ini adalah cokelat kesukaanku.

"Makasih Za, hmmm... besok kamu pergi lagi ya nemenin Ayah?" tanyaku kalem sambil membuka bungkusan cokelat itu.

"Iya, seperti biasalah. 3 hari aku pergi sama ayahmu ke salatiga. Itu udah jadi tugasku kan? menemani ayahmu?"

"Hmmm... iya ya... 3 hari lama juga ya?" ujarku setengah berat.

"Ga lama lah, 3 hari cepet kok. Sabar yaa..." jawabnya pendek sambil mengusap ubun-ubun kepalaku.

"Yaudah pulang yuk," ajaknya. Aku menurut saja. Tiba-tiba saja ia menggandengku dengan cueknya. Aku kaget lagi. Sedikit canggung merasakan genggaman tangannya yang besar dan kekar.

"Eeh, Eza...." aku ga mampu lagi untuk berkata-kata. Eza tau maksudku dan hanya tersenyum.

Sepanjang perjalanan Eza terus menarikku ke pelukannya. Dan jemari kita pun saling bertaut. Ada gemuruh dalam dada yang ingin menolak semua perasaan ini namun ada sejumput kebahagian dari perasaan yang terbalaskan ini. Namun, aku bisa apa? jika ternyata..... Aahhh... sudahlah....

Tepat di depan pintu pagar ia menghentikan motornya. Aku turun dengan canggung. Perasaan ini semakin meliar namun tetap terpendam.

"Q, jaga diri baik-baik yaa..."

"Hmmm?" tanyaku tak mengerti. Sedetik kemudian ia mengecup ubun-ubunku. Pelan dan lembut. Setelah itu ia melepaskan genggaman jemariku dan tersenyum.

"Aku pulang yaa..." aku terpaku. Ia tersenyum dan pergi bersama motornya.

"Mbak Q,? ngapain kamu?" tiba-tiba panggilan dari Osa adik bungsuku mengagetkanku. Aku gelagapan dan segera masuk kerumah.

"Mbak? kamu pacaran ya sama supirnya ayah?" tanya adikku polos. Aku hanya menunduk tanpa memberinya sebuah jawaban. Gemuruh dalam hati benar-benar memaksaku untuk melupakan dia.

-tyz-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar