Kamis, 22 Maret 2012

Ingatlah, ini perjalanan kita..


“Ini ransum makanan udah siap semua?” tanya Akbar kepada team kami. Aku kembali mengecek barang bawaan yang telah kami siapkan. Meskipun ini bukan perjalanan yang terlalu panjang, namun penjelajahan ini benar-benar akan menguras tenaga kami.
“Kayaknya udah beres Bos,” jawabku kalem. Fuddin melemparkan kemejanya kearahku seraya berkata, “pake kemeja itu, aku ga suka kamu pake baju yang ngeliatin bentuk tubuhmu.!” Aku menerimanya dengan manyun. Memang aku hanya menggunakan tank top yang lumayan ketat dan celana pendek se lutut. Bukan apa-apa, karena ini penjelajahan aku hanya ingin menggunakan baju yang simple.
Emangnya menjelajahi hutan mesti pake rok sama baju yang besar-besar? Yang ada aku jatuh mulu. Gumamku tak jelas. Sementara itu Fuddin, Remi dan Akbar berdiskusi menjauh dariku.
“Neng, kamu udah siapin semua kan ransum makannya?” Ucap Vindy teman baikku yang ikut serta dalam penjelajahan ini.
“Insyaallah udah. Remi juga udah beli macem-macem tadi dipasar Boja.”
“Oke, ayo semua kumpul disini. Fuddin, Remi, Vindy, dan Fara. Sebelum kita memulai menjelajahi hutan ini, lebih baik kita berdoa dulu menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai.!” Pimpin Akbar.
“Selesai.!”
“Semangat team…!!!” teriak Akbar pemimpin kami yang disambut dengan tepukan meriah.
Masing-masing orang membawa 1 ransel. Sebagian ransum makanan ada di ranselku sebagian lagi ada diransel Vindy -mengingat hanya kami berdua yang berstatus cewek- akhirnya kami membagi dua. Ransel Fuddin dan Remi berisi perlengkapan untuk menjelajahi ini. Ada kompas, tali, pisau lipat dan sebagainya. Sebenarnya ini bukan perjalanan yang besar, namun karena tempat ini masih benar-benar “asli” dan alami kami menyiapkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi.
Ini adalah perjalanan kesekian kami. Kami biasa berkumpul juga karena kami menemukan tempat-tempat yang masih alami dan ada sesuatu hal yang menarik disana. Curug Lawe. Ya, Curug Lawe, pertama kali kami mengetahuinya ketika Bram dan teamnya tersesat disekitar hutan-hutan disini lalu menemukan air terjun itu. Awalnya mereka tidak tau apa nama air terjun ini hingga mereka akhirnya menemukan perkampungan warga dan cerita tentang air terjun itu. Karena penasaran, Akbar mengajak kami untuk menjelajahi hutan dan mencari curug itu.
Kami memarkir motor di perkampungan yang sempit. Aku juga tak tahu apa nama perkampungan itu. Namun setelah mendapat pengarahan dari Pak Broto warga setempat, kami sedikit mengerti. Setelah briefing kami berlima segera menggendong ransel dan berangkat. Perjalanan dimulai dengan tanjakan dari perkampungan menuju bukit entah apa namanya. Melewati sawah dan ada seorang bapak-bapak yang sedang memandikan sapi tidak jauh dari situ. Tanjakan ini lumayan terjal dan sempit. Mungkin hanya pengendara sepeda motor yang nekat yang berani melewati ini. Diujung tanjakan ini kami dikejutkan oleh pemakaman umum. Ya, ternyata disini ada pemakaman umum. Sejenak kami terdiam dan ‘permisi’ untuk penghuni disitu.
Akbar yang terus memimpin kami menginsyaratkan untuk melanjutkan perjalanan. Akbar didepan, Vindy, Remi, Aku dan terakhir ada Fuddin. Jalan yang kami lalui berupa jalan setapak. Sempit dan masih berupa tanah dan rumput liar. Tidak berapa lama kemudian kami menemukan padang rumput yang benar-benar hijau dan enak dipandang. Tak jauh dari situ ada aliran air yang digunakan untuk PLTA. Mungkin air dari Curug Lawe yang digunakan, fikirku.
“Foto dulu yok…!” ajak Remi sambil mengaktifkan kamera DSLRnya. Aku siap berpose bersama dengan lainnya. Fuddin tiba-tiba menggenggam tanganku, aku memandangnya dengan kaget dan takjub. Begitu juga dengan Vindy namun Akbar terlihat biasa saja. Well, Fuddin adalah orang yang paling anti megang tangan cewek kalo ga dalam keadaan ‘darurat’ saja. Ini aneh… fikirku.
Setelah berfoto sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan ini disambut dengan pohon-pohon perdu namun berbuah. Lagi-lagi aku tak tahu apa nama buah itu. Bodohnya aku. Setelah itu, ada sebuah tanda yang dibuat dari potongan papan yang menunjukan petunjuk jalan menuju Curug Lawe. Petunjuk itu mengarahkan untuk turun dan mulai masuk hutan. Disini perasaanku mulai was-was. Karena jalan untuk turun saja sudah terlihat gelap, dalam dan licin. Pelan-pelan Akbar memimpin kami untuk turun dibantu dengan Remi dan Fuddin yang menjagaku dari belakang.
Yap, begitu kami turun disambut dengan suara jangkrik dan lembab. Terus kami mengikuti jalan yang menuntuk kami terus turun ke dalam hutan. Sepatuku yang berwarna putih sudah mulai kusam karena tanah yang basah.
“Bar, depan itu ada jalan setapak. Lewat situ kali Bar,” ujar Remi sambil menunjuk jalan setapak. Mungkin lebih tepatnya itu adalah ujung tebing. Karena disebelah kanan kami ada aliran air seperti kalen dan sebelah kiri ada jurang, melihatnya saja sudah cukup membuat aku merinding. Fuddin mendekat kearahku dan memegang bahuku. Mungkin mencoba menenangkan aku yang mulai phobia, sementara Vindy mulai berlari-lari kecil mengikuti jejak Akbar.
Di ujung jalan setapak ini ada sebuah jembatan tua yang dibawahnya ada aliran air juga. Sedikit ragu aku melangkahkan kaki. Takutnya karena saking tuanya jembatan itu rubuh tiba-tiba. Setelah jembatan itu kami melanjutkan perjalanan hingga menemukan sebuah tempat peristirahatan. Bukan pendopo, tapi seperti buk kecil yang ada pipa-pipanya. Mungkin itu sumber dari PLTA nya. Disini kami mulai bisa melihat matahari lagi. Dan membuat badan kami berkeringat sejenak setelah ditekan oleh kelembaban. Sementara Akbar dan Fuddin berkelilingi melihat situasi dan mencari jalan selanjutnya.
“Kayaknya kita harus nyebrang aliran air ini deh, soalnya diseberang situ aku melihat ada tali yang terulur. Kita harus menanjaki tebing itu deh. Gimana? Siap?” tanya Akbar.
“Let’s go.!” Ucapku semangat disambut dengan senyuman mereka. Kali ini posisi dibalik. Fuddin yang memimpin, di belakangnya ada aku, Vindy, Remi dan Akbar. Ini adalah tanjakan yang lumayan tinggi. Tanahnya sama-sama licin ketika kami turun tadi. Menggunakan tali yang terulur tadi kami menaiki tanjakan ini dengan perlahan. Setelah tanjakan ini, disambut lagi dengan kegelapan hutan. Namun, sampai disini jalan setapak mulai bercabang menjadi 3. Fuddin terus melangkahkan kakinya sementara yang lainnya mengekor. Melewati batang pohon yang rubuh dan kerikil-kerikil yang lumayan tajam. Perjalanan ini diwarnai dengan canda tawa kami sehingga kami tidak merasa takut atau lelah. Jalan tapak semakin meluas lalu mengecil lagi hingga kami bertemu dengan aliran air lagi. Kali ini lumayan deras.
“Kayaknya curug nya udah deket deh,” ujar Vindy.
“Maybe,” jawabku.
“Tapi kayaknya kita musti ngelewatin batang kayu ini deh.” Ujar Fuddin sambil melihat batang kayu yang cukup besar dan panjang melintang melintasi aliran air menuju ke seberang hutan. Aku melangkah untuk pertama kalinya menyeberangi batang kayu itu disusul Fuddin dan yang lainnya.
Tiba-tiba saja, BYUURRRRR…!!
Keseimbanganku goyah dan aku terjatuh. Kakiku lumayan sakit namun sebagian bajuku telah basah. Fuddin yang dengan tanggap mau menangkapku pun ikutan jatuh dan basah. Kami hanya tertawa. Akbar dengan sigap langsung mendirikan kami dan mengecek apakah ada yang terluka atau tidak. Kakiku terasa sedikit sakit namun itu bukan masalah yang besar.
Setelah penyeberangan itu kami dihadapi lagi dengan hutan yang semakin gelap dan jalan yang semakin terjal. Jalan setapak perlahan mulai hilang. Kami mencari sendiri jalan setapak untuk menuju curug tersebut. Cukup jauh juga perjalanan yang kami tempuh. Hutan benar-benar setia menemani perjalanan kami. Berkali-kali baik aku, Vindy, Akbar, Remi maupun Fuddin terpeleset di jalan ini. Karena tanah yang basah dan lembab juga karena jalan ini naik dan turun.
Kami tiba di 2 jalan yang berbeda arah. Entah jalan mana yang seharusnya kami pilih. Dengan kepercayaan diri Fuddin memilih salah satu jalan itu tanpa melihat kompas.
Tiba-tiba saja Fuddin teriak, “ARRGGHHHH…!!”. Spontan kami langsung menyusul dan mendapati Fuddin tengah terpeleset dan jatuh menuruni jalan dan melewati batang pohon kecil-kecil. Akbar dengan gesit segera lari dan menjaga dari bawah, aku tanpa pikir panjang menyusul Fuddin ‘terjun’, Remi menyusul Akbar sementara Vindy hanya komat kamit baca mantra.
Fuddin mendarat dengan sukses setelah di halau oleh Akbar dan ditarik oleh Remi. Sedangkan aku melesat melewati Fuddin dan berpegangan di kaki Akbar. Posisi yang konyol. Namun akhirnya semua terhenti. Aku manarik diri dibantu oleh Remi sementara Akbar melihat kondisi Fuddin. Vindy dengan cepat menyusul kami dibawah. Lenganku terasa perih dan kebas. Vindy melihatnya dan ternyata ada sobekan cukup dalam yang mengakibatkan kemeja Fuddin sobek. Sementara Fuddin, kaki-nya penuh lumpur dan baju nya kotor dan ada noda bekas darah, ketika dibuka ternyata punggungnya penuh dengan sayatan kecil.
Setelah beberapa saat istirahat dan mengobati luka, Akbar mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan. Remi menggandeng Fuddin dan Vindy memapahku. Kami melewati aliran air lagi dan membasuh bagian tubuh kami yang kotor dan terluka. Tak jauh dari situ terdengar suara air gemericik. Vindy dengan semangat berteriak, “Lihaaatttttt…!! Kita udah semakin dekat.!”
“Ayok cepat kita kesana.!” Teriak Remi antusias menyusul Vindy dan melupakan Fuddin. Aku bangun dan memapah Fuddin, sementara Akbar terus berjalan melesat bersama Remi dan Vindy.
Memang suara gemericik air sudah terdengar. Mungkin tidak jauh dari sini curug itu berada. Benar saja, setelah belokan yang tertutup tebing dan batu besar yang menghalangi terlihat air terjun yang begitu menjulang tinggi dan deras. Kami semua terpesona. Di sisi air terjun terlihat air terjun kecil-kecil dan sebuah pelangi yang indah. Tidak jauh dari situ ada sebuah batang pohon yang melintang. Vindy dan Remi melepas ransel dan sepatunya disitu dan langsung bermain air. Akbar masih takjub dengan keindahan alam yang ada dihadapannya. Serasa tidak mau melewatkan moment indah itu, ia segera mengambil kamera dan mengabadikannya. Tanpa sadar jemariku dan Fuddin saling bertaut. Melangkah secara bersama mendekati air terjun tersebut. Kami semua tersenyum. Ini adalah keindahan alam yang masih tersembunyi, yang masih alami dan yang masih asli. Suara air terjun, angin yang kencang, dan tawa kami semua berpadu menjadi suatu keindahan alam yang tak tertandingi.

Memoar Curug Lawe
Akhir 2007

Kamis, 15 Maret 2012

Ini, saatnya....

Aku melangkah dengan ringan melalui beberapa orang yang sedang asik berdiskusi tentang suatu hal. Seperti biasanya, aku melayangkan senyum manisku dan menyapa mereka dengan ramah. Tidak ada yang istimewa hari ini, selain jadwalku mengisi acara di sebuah stasiun radio di kotaku yang kecil ini. Siaran favoritku dan yang paling aku tunggu.

Aku memasuki koridor studio dengan langkah kaki yang tertahan dan pelan karena sedang ada rekaman di studio 4 sedangkan aku akan siaran di studio 2. Aku menyapa Pak Hilman, Bu Tike dan Pak Yoga dengan semangat namun sepertinya mereka tak menyadari kedatanganku. Aku pun melanjutkan berjalan menuju studio 2. Sepi. Ruang tamu yang biasa ramai oleh anak-anak magang sore ini terlihat sepi. Hanya terdengar suara radio. Aku melihat kedalam studio, ada mbak Kiki penyiar paling supel menurutku tengah asik bercuap-cuap sendiri. Aku melambaikan tangan kearahnya, namun mungkin karena konsentrasinya yang penuh ia tidak menyadari aku ada.

Aku melihat jam yang menempel didinding dengan manis. Masih jam setengah 4, bearti masih ada setengah jam lagi menunggu fikirku.

Sambil menunggu, aku memperhatikan mbak Kiki siaran dengan wajah yang terlihat seperti dipaksakan tertawa. Meskipun terdengar renyah seperti biasanya, namun wajahnya benar-benar terlihat berbeda dari biasanya.

Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Mbak Kiki mengakhiri siarannya dan keluar dari studio. Ia menatapku, aku tersenyum, Ia melangkah terus melewati aku dan mengambil sebuah Aqua gelas dan masuk lagi keruan studio, meninggalkanku. Aku tersenyum dan terus memperhatikan dia. Ia meletakkan Aqua itu di meja seperti biasanya aku menaruh Aqua. Itu Aqua untukku. Aku menyadari itu.

"Baik sahabat kreatif, jumpa lagi dengan Kiki di Bahana Sastra," bukanya sambil memainkan mixernya.

"Hari ini kita mau membahas apa ya?Hmmmm...."

"Sepertinya hari ini cocok banget buat nge-bahas profile dari seorang penulis muda yang bernama Nirmala..."

"Sebelum kita mulai, yang mau kirim puisi boleh kirim ke noor 081325112212." Ucapnya sambil memulai lagu yang berjudul Saat Terakhir dari ST12.

Mbak Kiki melepas earphonenya dan memejamkan mata. Seolah-olah ia sedang menghayati lagu yang ia putar itu. Sedetik kemudian, aku melihat air matanya meleleh dan aku hanya mampu tersenyum.

"Balik lagi barengan Kiki di Bahana Sastra. Ups... ternyata sudah ada beberapa pesan yang masuk nih -- Sore mbak Kiki, kok sendirian aja siarannya, mbak Nirmala kemana?-- " Aku mendengar suaranya tercekat seperti sedang menahan sesuatu.

"Aduh, kemana ya mbak Nirmala yang biasa nemenin aku siaran?" gumamnya.

"Sahabat kreatif, hari ini aku siaran sendirian dan membahas profile dari seorang penulis muda bernama Nirmala. Sahabar kreatif, pagi ini aku mendapat telfon bahwa teman kita yang biasa mendampingi aku saat siaran telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa, mari kita sejenak berdoa memohon kedamaian untuk NIrmala," Kiki mulai sesenggukan. Aku kembali tersenyum, Ini saatku pergi, batinku, surga sudah menanti kedatanganku.


Selasa, 06 Maret 2012

Gathering Launching 'Pertemuan Pertama' #NBC Semarang


Gathering Launching 'Pertemuan Pertama'.



Ada tulisan aku lhooo disini. Dateng yaaa... cuman 15 ribu aja udah dapet makan siang dan PIN NBC Semarang. ^^

Senin, 05 Maret 2012

Kamu, ?

Aku menghapus air mataku. Pagi ini aku menelan air mata diam-diam, karena aku ga ingin mereka tahu tentang kesedihanku. Ini karena aku ga mau membebani mereka dengan tekanan batin yang aku alami. Inilah aku, yang selalu tampak ceria di depan namun sebenarnya di dalam hati aku menangis. Ingin rasanya aku berbagi rasa sedih ini namun aku ga tau harus berbagi dengan siapa.

Jam sudah menunjukan pukul 7 pagi, waktunya mengantar pesanan makanan ke sekolah-sekolah. Aku hanya mengenakan jaket lusuh yang menutupi daster pink dipadu dengan celana panjang. Tanpa mencuci muka setelah menangis, aku menstater motor dan siap menjalankan tugasku.

Di persimpangan jalan, sembari aku melamun berfikir untuk mendapatkan penghasilan yang banyak tanpa bergenit ria aku di kagetkan oleh sebuah motor yang memotong jalanku. Perhatianku terus teralihkan. Aku melihat sosok yang duduk di bangku belakang tanpa menggunakan helm. Merasa kenal dengannya aku mencoba mendekat.

"Nano...!!" panggilku begitu yakin dengan wajah yang aku lihat. Ia menolehkan kepala kekanan dan kekiri. Mungkin mencari sumber suara yang telah memanggilnya.

"Nanooo....!!" panggilku lagi. Kali ini si pengendara motor yang duduk di depan memelankan motornya sehingga aku dapat mensejajari mereka.

"Eh, kamu Win, mau kemana?" ucap Nano langsung mengenaliku. Jelaslah, secara dulu kita adalah musuh bebuyutan ketika masih duduk di bangku SD.

"Mau anter pesenan nih, kamu mau kemana Nan?"

"Habis ambil printer, eh katanya si Pijar mau nikah, kapan?"

"Iya, undangannya udah di aku nih Nan, dateng yaa... nanti kita kumpul-kumpul dulu di SD biar bisa berangkat bareng-bareng,"

"Iya deh, terus masalah kaos gimana?"

"Udah beres, Trias udah atur semuanya. Tinggal yang belum bayar aja. Tolong donk Nan, bantu nagih ke mereka." pintaku sambil terus mensejajari laju motornya.

Tiba-tiba pengendara motor yang duduk didepan membuka kaca helm-nya yang gelap dan menyapaku.

"Win, kamu ga kangen aku?" aku takjub dengan orang yang memanggilku sehingga aku spontan menghentikan motorku dan menatapnya dengan bibir setengah terbuka.

"Win, Hoi...!!" teriak Nano sambil melambaikan tangan di depanku.

"Hahahahaa... kamu kaget ya kenapa aku ada disini?" ujar pengendara motor itu. Aku segera tersadar dari keterkejutanku dan mencoba tersenyum.

"Dimas, kapan pulang? lama tak jumpa..." aku mengulurkan tanganku dan dia membalasnya.

"Matamu semakin besar, habis nangis?"

Aku baru ingat bahwa aku ga sempat mencuci muka setelah menangis. Pasti mukaku kelihatan lusuh dan berantakan ditambah lagi dengan bajuku yang apa adanya. Hanya memakai daster tidur dan jaket lusuh. Oh My God... beginikah pertemuan pertama kami lagi? setelah 4 tahun berpisah?.

"Hahahahaa... enggak DIm, biasa, kerjaan numpuk..." ucapku berdalih.

"Win, ntar sore jalan yuk. Sekalian reuni," ajak Nano, seolah-olah ia tahu bahwa di tatapan mata kami ada rindu disitu. Aku pun segera merasa senang dengan kesempatan itu.

"Iya deh, Dimas ikut kan?"

"Jelaslah, mumpung masih di Indonesia,"

"Emang mau kemana lagi?"

"Aku mau ke Belanda, mengunjungi calon mertuaku." ucapnya enteng. Aku tertegun dengan ucapannya. Setelah itu aku segera berpamitan kepada mereka dan berlalu.

Pagi ini, aku disuguhi secangkir air mata lagi. Dari kamu... Laki-laki masa laluku.

Minggu, 04 Maret 2012

Masa Lalu Mengejar Cinta

Cuy, aku mau bikin surprise ke dia nih. Hari ini dia pulang ke Bandung, dia minta aku untuk nganter dia pulang, tapi aku bilang kalau aku ga bisa. Padahal sebenernya aku udah nongkrong di terminal dari jam 2 tadi dan mau anter dia sampai Bandung. What do you think about that?

Sebuah pesan singkat yang aku kirim ke seorang kawanku Malya benar-benar membuatku sedikit mengurangi keteganganku. Aku sudah berdiri disini hapir 2 jam untuk menunggu sesosok orang yang masih aku cintai hingga saat ini. Namun, entah bagaimana aku merasa bingung dan bodoh untuk mengejarnya. Untuk itulah aku membutuhkan sesosok Malya untuk menuntunku yang sedang bingung dengan urusan ini.

Motor sudah aku parkir di tempat parkir 24 jam. Aku sudah siap untuk memberinya kejutan. Namun, hingga saat ini belum juga dia menunjukkan batang hidungnya. Aku kembali mengecek handphoneku berharap Malya membalas sms dan memberikanku semangat. Aku juga mengecek Blackberry messengerku berharap ia membalas BBM ku dan aku bisa mengetahui dimana keberadaannya sekarang.

Jam sudah menunjukan pukul 4 sore lebih sedikit. Aku masih setia menanti kehadirannya.

Yaudah Bar, SEMANGAT yaa... be positive thinking ya..!!

Pesan singkat dari Malya cukup menghibur aku yang mulai resah karena menunggu kedatangannya Ariani.

Kang, C udah di terminal.

BBM pun masuk dari Ariani. Spontan aku berdiri dan memasang mata di segala penjuru. Berharap menemukan sosok Ariani yang kecil, mungil namun manis. Hatiku semakin berdebar ga karuan. Ini adalah harapanku terakhir untuk bisa kembali padanya.

Aku teringat pertemuan kemarin ketika ia datang ke rumah untuk bersilahturahmi dengan Ibu dan Bapak. Kita berempat duduk di taman belakang sambil minum kopi dan membicarakan apapun yang terlintas di benak kita. Sangat kental dan berasa ia masih menjadi milikku. Seperti kita sudah menjadi satu keluarga yang utuh. Aku memandangi wajahnya yang makin ayu tanpa polesan bedak dan senyumnya yang terus mengembang.

Kita membicarakan tentang kelahiran ponakannya yang pertama tepat di hari ulang tahunku 13 Agustus. Ya, ketika itu ia meneleponku dengan panik. Ia mengatakan bahwa kakaknya sudah masuk rumah sakit dan dia sendirian karena orangtua berada di Tasik. Aku pun segera melarikan motorku ke rumah sakit yang di tuju. Padahal ketika itu jam menunjukan pukul 11 malam. Aku ga peduli dengan waktu dan segera berangkat untuk menemaninya. Begitu sampai aku spontan memeluknya dan ia menangis di pelukanku. Saat itu ia masih milikku. Dan, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi tepat pukul 1 dini hari. yang artinya 1 jam di tanggal 13 Agustus.

Kenangan itu terus berkelebat selama aku memandang berkeliling untuk mencari sosok Ariani. Hingga satu per satu bis yang ada mulai meninggalkan terminal bersamaan dengan sebuah BBM yang masuk di Blackberryku.

Kang, C udah berangkat. Terimakasih ya kang, C seneng udah bisa ketemu akang lagi.

Aku merasakan kakiku melemas begitu membaca pesan itu. Segera aku meneleponnya sambil berlari ke tempat dimana aku memarkirkan motor aku. Aku menyelipkan handphoneku di sela-sela helm yang menghimpit kepalaku. Aku menstater motorku dengan perasaan panik. Aku takut untuk ga bertemu dengannya lagi.

'C, dimana?' tanyaku begitu telpon diangkat. Aku mendengar suaranya dari seberang sana dengan intonasi suara yang terdengar sedih. Aku terus meliuk-liukan sepeda motor, berusaha mengejarnya. Aku ga mau menyerah dengan keadaan.

Aku melihat beberapa bis masuk ke jalan tol. Rasa panikku semakin memuncak, jika bis yang ia tumpangi udah masuk jalan tol otomatis aku ga bisa lagi mengejarnya.

'C, bis udang sampai mana?' aku bertanya dengan cepat, aku ga bisa mendengar jawabannya dengan jelas karena kebisingan jalan. Tiba-tiba saja sebuah bis berjalan lambat dan menepi. Aku pun ikut menepi, berharap itu adalah bis yang ia tumpangi.

'Akangg...!!!' teriak suara dari seorang wanita yang sudah familiar di telngaku.

'C, ya Allah..."

'Akang kenapa bisa sampai sini?' tanyanya heran sambil melihatku yang aku tau pasti terlihat kucel karena panik yang sangat.

'Akang pengen ketemu C, C akang....'

'Eh iya kang, C lupa ngasih ini' ujar C memutus pembicaraanku sambil mengeluarkan sebuah undangan dan menyerahkannya kepadaku.

'Ini undangan sebenernya kemarin C mau kasih, tapi lupa karena keasikan ngobrol,' aku memandang kaku kearah undangan itu yang telah berpindah ketanganku. Aku tertegun dan benar-benar terasa lemas.

'Kang, C masuk bis lagi yaa.... mohon doa restunya ya kang....' tanpa menunggu jawabanku ia berlari masuk ke bis lagi dan meninggalkan aku yang masih terpaku dengan sebuah undangan yang bertuliskan 'Undangan Pernikahan Ariani dan Bagas'.