Kamis, 22 Maret 2012

Ingatlah, ini perjalanan kita..


“Ini ransum makanan udah siap semua?” tanya Akbar kepada team kami. Aku kembali mengecek barang bawaan yang telah kami siapkan. Meskipun ini bukan perjalanan yang terlalu panjang, namun penjelajahan ini benar-benar akan menguras tenaga kami.
“Kayaknya udah beres Bos,” jawabku kalem. Fuddin melemparkan kemejanya kearahku seraya berkata, “pake kemeja itu, aku ga suka kamu pake baju yang ngeliatin bentuk tubuhmu.!” Aku menerimanya dengan manyun. Memang aku hanya menggunakan tank top yang lumayan ketat dan celana pendek se lutut. Bukan apa-apa, karena ini penjelajahan aku hanya ingin menggunakan baju yang simple.
Emangnya menjelajahi hutan mesti pake rok sama baju yang besar-besar? Yang ada aku jatuh mulu. Gumamku tak jelas. Sementara itu Fuddin, Remi dan Akbar berdiskusi menjauh dariku.
“Neng, kamu udah siapin semua kan ransum makannya?” Ucap Vindy teman baikku yang ikut serta dalam penjelajahan ini.
“Insyaallah udah. Remi juga udah beli macem-macem tadi dipasar Boja.”
“Oke, ayo semua kumpul disini. Fuddin, Remi, Vindy, dan Fara. Sebelum kita memulai menjelajahi hutan ini, lebih baik kita berdoa dulu menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai.!” Pimpin Akbar.
“Selesai.!”
“Semangat team…!!!” teriak Akbar pemimpin kami yang disambut dengan tepukan meriah.
Masing-masing orang membawa 1 ransel. Sebagian ransum makanan ada di ranselku sebagian lagi ada diransel Vindy -mengingat hanya kami berdua yang berstatus cewek- akhirnya kami membagi dua. Ransel Fuddin dan Remi berisi perlengkapan untuk menjelajahi ini. Ada kompas, tali, pisau lipat dan sebagainya. Sebenarnya ini bukan perjalanan yang besar, namun karena tempat ini masih benar-benar “asli” dan alami kami menyiapkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi.
Ini adalah perjalanan kesekian kami. Kami biasa berkumpul juga karena kami menemukan tempat-tempat yang masih alami dan ada sesuatu hal yang menarik disana. Curug Lawe. Ya, Curug Lawe, pertama kali kami mengetahuinya ketika Bram dan teamnya tersesat disekitar hutan-hutan disini lalu menemukan air terjun itu. Awalnya mereka tidak tau apa nama air terjun ini hingga mereka akhirnya menemukan perkampungan warga dan cerita tentang air terjun itu. Karena penasaran, Akbar mengajak kami untuk menjelajahi hutan dan mencari curug itu.
Kami memarkir motor di perkampungan yang sempit. Aku juga tak tahu apa nama perkampungan itu. Namun setelah mendapat pengarahan dari Pak Broto warga setempat, kami sedikit mengerti. Setelah briefing kami berlima segera menggendong ransel dan berangkat. Perjalanan dimulai dengan tanjakan dari perkampungan menuju bukit entah apa namanya. Melewati sawah dan ada seorang bapak-bapak yang sedang memandikan sapi tidak jauh dari situ. Tanjakan ini lumayan terjal dan sempit. Mungkin hanya pengendara sepeda motor yang nekat yang berani melewati ini. Diujung tanjakan ini kami dikejutkan oleh pemakaman umum. Ya, ternyata disini ada pemakaman umum. Sejenak kami terdiam dan ‘permisi’ untuk penghuni disitu.
Akbar yang terus memimpin kami menginsyaratkan untuk melanjutkan perjalanan. Akbar didepan, Vindy, Remi, Aku dan terakhir ada Fuddin. Jalan yang kami lalui berupa jalan setapak. Sempit dan masih berupa tanah dan rumput liar. Tidak berapa lama kemudian kami menemukan padang rumput yang benar-benar hijau dan enak dipandang. Tak jauh dari situ ada aliran air yang digunakan untuk PLTA. Mungkin air dari Curug Lawe yang digunakan, fikirku.
“Foto dulu yok…!” ajak Remi sambil mengaktifkan kamera DSLRnya. Aku siap berpose bersama dengan lainnya. Fuddin tiba-tiba menggenggam tanganku, aku memandangnya dengan kaget dan takjub. Begitu juga dengan Vindy namun Akbar terlihat biasa saja. Well, Fuddin adalah orang yang paling anti megang tangan cewek kalo ga dalam keadaan ‘darurat’ saja. Ini aneh… fikirku.
Setelah berfoto sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan ini disambut dengan pohon-pohon perdu namun berbuah. Lagi-lagi aku tak tahu apa nama buah itu. Bodohnya aku. Setelah itu, ada sebuah tanda yang dibuat dari potongan papan yang menunjukan petunjuk jalan menuju Curug Lawe. Petunjuk itu mengarahkan untuk turun dan mulai masuk hutan. Disini perasaanku mulai was-was. Karena jalan untuk turun saja sudah terlihat gelap, dalam dan licin. Pelan-pelan Akbar memimpin kami untuk turun dibantu dengan Remi dan Fuddin yang menjagaku dari belakang.
Yap, begitu kami turun disambut dengan suara jangkrik dan lembab. Terus kami mengikuti jalan yang menuntuk kami terus turun ke dalam hutan. Sepatuku yang berwarna putih sudah mulai kusam karena tanah yang basah.
“Bar, depan itu ada jalan setapak. Lewat situ kali Bar,” ujar Remi sambil menunjuk jalan setapak. Mungkin lebih tepatnya itu adalah ujung tebing. Karena disebelah kanan kami ada aliran air seperti kalen dan sebelah kiri ada jurang, melihatnya saja sudah cukup membuat aku merinding. Fuddin mendekat kearahku dan memegang bahuku. Mungkin mencoba menenangkan aku yang mulai phobia, sementara Vindy mulai berlari-lari kecil mengikuti jejak Akbar.
Di ujung jalan setapak ini ada sebuah jembatan tua yang dibawahnya ada aliran air juga. Sedikit ragu aku melangkahkan kaki. Takutnya karena saking tuanya jembatan itu rubuh tiba-tiba. Setelah jembatan itu kami melanjutkan perjalanan hingga menemukan sebuah tempat peristirahatan. Bukan pendopo, tapi seperti buk kecil yang ada pipa-pipanya. Mungkin itu sumber dari PLTA nya. Disini kami mulai bisa melihat matahari lagi. Dan membuat badan kami berkeringat sejenak setelah ditekan oleh kelembaban. Sementara Akbar dan Fuddin berkelilingi melihat situasi dan mencari jalan selanjutnya.
“Kayaknya kita harus nyebrang aliran air ini deh, soalnya diseberang situ aku melihat ada tali yang terulur. Kita harus menanjaki tebing itu deh. Gimana? Siap?” tanya Akbar.
“Let’s go.!” Ucapku semangat disambut dengan senyuman mereka. Kali ini posisi dibalik. Fuddin yang memimpin, di belakangnya ada aku, Vindy, Remi dan Akbar. Ini adalah tanjakan yang lumayan tinggi. Tanahnya sama-sama licin ketika kami turun tadi. Menggunakan tali yang terulur tadi kami menaiki tanjakan ini dengan perlahan. Setelah tanjakan ini, disambut lagi dengan kegelapan hutan. Namun, sampai disini jalan setapak mulai bercabang menjadi 3. Fuddin terus melangkahkan kakinya sementara yang lainnya mengekor. Melewati batang pohon yang rubuh dan kerikil-kerikil yang lumayan tajam. Perjalanan ini diwarnai dengan canda tawa kami sehingga kami tidak merasa takut atau lelah. Jalan tapak semakin meluas lalu mengecil lagi hingga kami bertemu dengan aliran air lagi. Kali ini lumayan deras.
“Kayaknya curug nya udah deket deh,” ujar Vindy.
“Maybe,” jawabku.
“Tapi kayaknya kita musti ngelewatin batang kayu ini deh.” Ujar Fuddin sambil melihat batang kayu yang cukup besar dan panjang melintang melintasi aliran air menuju ke seberang hutan. Aku melangkah untuk pertama kalinya menyeberangi batang kayu itu disusul Fuddin dan yang lainnya.
Tiba-tiba saja, BYUURRRRR…!!
Keseimbanganku goyah dan aku terjatuh. Kakiku lumayan sakit namun sebagian bajuku telah basah. Fuddin yang dengan tanggap mau menangkapku pun ikutan jatuh dan basah. Kami hanya tertawa. Akbar dengan sigap langsung mendirikan kami dan mengecek apakah ada yang terluka atau tidak. Kakiku terasa sedikit sakit namun itu bukan masalah yang besar.
Setelah penyeberangan itu kami dihadapi lagi dengan hutan yang semakin gelap dan jalan yang semakin terjal. Jalan setapak perlahan mulai hilang. Kami mencari sendiri jalan setapak untuk menuju curug tersebut. Cukup jauh juga perjalanan yang kami tempuh. Hutan benar-benar setia menemani perjalanan kami. Berkali-kali baik aku, Vindy, Akbar, Remi maupun Fuddin terpeleset di jalan ini. Karena tanah yang basah dan lembab juga karena jalan ini naik dan turun.
Kami tiba di 2 jalan yang berbeda arah. Entah jalan mana yang seharusnya kami pilih. Dengan kepercayaan diri Fuddin memilih salah satu jalan itu tanpa melihat kompas.
Tiba-tiba saja Fuddin teriak, “ARRGGHHHH…!!”. Spontan kami langsung menyusul dan mendapati Fuddin tengah terpeleset dan jatuh menuruni jalan dan melewati batang pohon kecil-kecil. Akbar dengan gesit segera lari dan menjaga dari bawah, aku tanpa pikir panjang menyusul Fuddin ‘terjun’, Remi menyusul Akbar sementara Vindy hanya komat kamit baca mantra.
Fuddin mendarat dengan sukses setelah di halau oleh Akbar dan ditarik oleh Remi. Sedangkan aku melesat melewati Fuddin dan berpegangan di kaki Akbar. Posisi yang konyol. Namun akhirnya semua terhenti. Aku manarik diri dibantu oleh Remi sementara Akbar melihat kondisi Fuddin. Vindy dengan cepat menyusul kami dibawah. Lenganku terasa perih dan kebas. Vindy melihatnya dan ternyata ada sobekan cukup dalam yang mengakibatkan kemeja Fuddin sobek. Sementara Fuddin, kaki-nya penuh lumpur dan baju nya kotor dan ada noda bekas darah, ketika dibuka ternyata punggungnya penuh dengan sayatan kecil.
Setelah beberapa saat istirahat dan mengobati luka, Akbar mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan. Remi menggandeng Fuddin dan Vindy memapahku. Kami melewati aliran air lagi dan membasuh bagian tubuh kami yang kotor dan terluka. Tak jauh dari situ terdengar suara air gemericik. Vindy dengan semangat berteriak, “Lihaaatttttt…!! Kita udah semakin dekat.!”
“Ayok cepat kita kesana.!” Teriak Remi antusias menyusul Vindy dan melupakan Fuddin. Aku bangun dan memapah Fuddin, sementara Akbar terus berjalan melesat bersama Remi dan Vindy.
Memang suara gemericik air sudah terdengar. Mungkin tidak jauh dari sini curug itu berada. Benar saja, setelah belokan yang tertutup tebing dan batu besar yang menghalangi terlihat air terjun yang begitu menjulang tinggi dan deras. Kami semua terpesona. Di sisi air terjun terlihat air terjun kecil-kecil dan sebuah pelangi yang indah. Tidak jauh dari situ ada sebuah batang pohon yang melintang. Vindy dan Remi melepas ransel dan sepatunya disitu dan langsung bermain air. Akbar masih takjub dengan keindahan alam yang ada dihadapannya. Serasa tidak mau melewatkan moment indah itu, ia segera mengambil kamera dan mengabadikannya. Tanpa sadar jemariku dan Fuddin saling bertaut. Melangkah secara bersama mendekati air terjun tersebut. Kami semua tersenyum. Ini adalah keindahan alam yang masih tersembunyi, yang masih alami dan yang masih asli. Suara air terjun, angin yang kencang, dan tawa kami semua berpadu menjadi suatu keindahan alam yang tak tertandingi.

Memoar Curug Lawe
Akhir 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar